Iklan - Scroll ke bawah untuk baca artikel
Komunitas MenulisOpini

Perlukah Budaya Diskusi di Warung Kopi?

329
×

Perlukah Budaya Diskusi di Warung Kopi?

Sebarkan artikel ini
Perlukah Budaya Diskusi di Warung Kopi?
Abdan Syakura. (Foto/Ist)

Maraknya budaya diskusi di warung kopi membuat kalangan mahasiswa dan dosen semakin betah menikmati kopi, ditemani dengan rekan-rekan pihaknya masing-masing. Budaya seperti ini sebenarnya tidak salah, sangat bermanfaat bagi setiap kalangan, asalkan betul-betul untuk bertukar pikiran dan sesamannya. Karena menurut penulis lihat di era sekarang sudah minoritas bagi setiap pelajar maupun dosen yang tidak nongkrong di warung kopi (warkop).

Tapi, patut dikoresksi dan dipertimbangkan juga dulu terkait hal ini mengapa, karena jika nongkrong di warkop sampai berjam-jam sampai lupa waktu hingga lupa akan kewajibannya masing-masing yang harus dijalankan, ini menjadi masalah yang sangat besar, karena dengan berlarut-larut di warkop itu tidak bagus juga karena jika di perturutkan bisa lupa akan setiap kegiatan yang harus diprioritaskan. Di era sekarang bisa dibilang di warkop sudah banyak yang menyediakan jaringan internet gartis yang membuat kalangan mahasiswa dan dosen maupun masyarakat sudah mudah di dalam melakukan tugasnya masing-masing karena sudah sangat instan.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melanjutkan

Yang patut dipertimbangkan sekarang, banyak minoritas dari kalangan mahasiswa yang duduk di warkop hanya membuang-buang waktu saja dengan bermain game dan berupa kelalaian lainnya yang tidak penulis uraikan satu-persatu dalam konteks ini. Dalam hal ini, penulis tidak menguraikan mengenai budaya duduk di warkop saja melainkan mengajak mahasiswa yang sudah lupa diri dengan bermain gamenya supaya mengubah mindsetnya agar bermanfaat bagi kehidupannya yang akan datang. jika pola pikir mahasiswa tidak diarahkan ke hal-hal yang bermanfaat seperti membaca buku,menulis dan melatih skill dan softkil, ini lama-kelamaan bisa jadi akan menjadi bibit yang akan menjadi beban bagi bangsa ini. Kenapa penulis bilang seperti itu, karena budaya melalaikan ini sudah membudaya juga di warkop.

Baca Juga :   17 Tahun Damai Aceh Delusi yang Memabukkan

Fenomena sekarang banyak muncul aktivis-aktivis bandet yang bersembunyi diketiak kaum oligarki dan mudah diperalat oleh kalangan elit tersebut. Sehingga mereka sudah nyaman bersamanya sehingga hilangnya integritas dan daya kritisnya. Jika hal ini dibiarkan begitu saja, maka hilanglah tridharma perguruan tinggi dalam jiwanya dan menjadi penyakit bagi civil society kedepannya. Bibit-bibit seperti ini perlu di bumi hanguskan dalam negeri Serambi Mekkah ini karena sudah mendukung dan mengawasi kaum oligarki yang seenaknya saja dalam mempermainkan hak-hak masyarakat.

Problem ini, penulis mengajak aktivis-aktivis yang masih berakal sehat agar bersama-sama memberantas bibit yang akan menjadi beban dan bangsa kedepannya. Jika tidak diberantas sekarang takutnya, lama-kelamaan akan melahirkan lebih banyak lagi bibit yang tidak menjunjung tinggi nilai keadilan dan akan semakin parah kedepannya. Jangan sampai bisa di cetak koruptor juniar di bumi yang kental dengan Syariah ini. Misalnya tidak di berantas bersama-sama, sama saja kita mendukung mereka untuk memperkaya isi perut oligarki tersebut. Jika kita masih menginginkan Aceh ini sejahtera dan bermartabat mari sama-sama kita memberantas bibit seperti itu di negeri tercinta ini.

Baca Juga :   IPC Pusat Layanan Kesehatan di Aceh, Sudah Berjalan atau Masih Sekedar Harapan?

Sejatinya, mahasiswa yang berjiwa ideologis jangan sampai hilang keidealismenya karena permainan kaum oligarki yang kian membunuh karakter maupun akal sehat mahasiswa yang memiliki jiwa merdeka didalam batinnya. Jika sudah mudah dipermainkan percuma saja merawat dan menjaga ideologisnya selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Kampus juga harus ikut memberikan himbauan atau memberikan kartu merah kepada aktivis yang bermain bersama kaum oligarki, karena ini problem yang harus dituntaskan secepat mungkin. Karena bisa merusak citra aktivis lain yang berakal sehat dikarenakan pelaku aktivis bandet ini yang sudah tidak memiliki jiwa independennya maupun akal sehatnya yang lama tertanam sudah mulai memudar begitu saja. Penulis tidak banyak menguraikan latar belakang aktivis bandet tersebut. Dalam konteks budaya diskusi di warung kopi ini hanya sekedar bunga rampai saja yang ingin menyadarkan aktivis bandet tersebut. Maraknya warkop Di Aceh saat ini membuat tiap kalangan sudah mudah dari kalangan mahasiswa juga bisa belajar dengan dosen di warkop saat pandemi asalkan tetap menjaga prokes yang telah ditetapkan oleh pemerintah setempat.

Baca Juga :   Milad ke-356 Susoh, Momentum Lebih Peduli terhadap Pendidikan

Harapannya kedepan, agar budaya seperti ini tetap terjaga asalkan mempunyai manfaat bagi setiap kalangan sekalian, juga bagi mahasiswa tetap terus melakukan diskusi dan belajar di warkop agar terasah ideologis akademisnya bisa terawat sesuai yang diharapkan masing-masing.

Budaya nongkrong di warung kopi patut dirawat dan dilestarikan agar terjalin komunikasi yang efektif, silaturahmi dan bagi penikmat kopi jangan lupa melahirkan gagasan yang cemerlang dan bermanfaat dalam berdiskusi. Sehingga dengan sering berdiskusi sambil ngopi dapat melahirkan aspirasi untuk dihadiahkan kepada kaum oligarki yang sudah lupa akan kesejahteraan dan martabat masyarakat dalam negeri jangan sampai termakan angin syurga dengan sandiwara yang dilontarkan oleh mereka sehingga masyarakat tidak akan mendaptkan kesejahteraan sebenarnya. (*)

Penulis

* Abdan Syakura, Mahasiwa Sederhana Penggiat Literasi dan Pengurus HMI Komisariat FUF UIN Ar-Raniry Periode 2020-2022. Artikel ini opini penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *