Lebih lanjut dijelaskan Ayu, intervensi pada 1.000 hari pertama kelahiran (HPK) sangat krusial dengan memberikan ASI eksklusif bagi bayi 0-6 bulan, kemudian pada anak usia 6-24 bulan dilanjutkan dengan pemberian makanan tambahan yang tinggi protein hewani.
Hal ini bertujuan untuk mencegah stunting pada anak pada usia tersebut, akibat kurangnya protein hewani pada MP-ASI yang mulai diberikan sejak 6 bulan.
Namun demikian, Ayu menegaskan bahwa semua intervensi tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab kaum perempuan atau ibu saja, melainkan juga harus ada dukungan dan kerjasama dari para bapak dan suami.
Sementara itu, Kepala Dinas PMP4 Aceh Barat Daya, Nur Afni Muliana, mengungkapkan tiga risiko besar yang harus dihadapi oleh mereka yang melakukan pernikahan dini di Aceh.
Pertama, pendidikan akan menjadi masalah besar, karena mereka akan kesulitan meraih pendidikan hingga 12 tahun seperti seharusnya.
Kedua, dampak kesehatan yang signifikan akan dialami oleh pengantin wanita, di mana organ reproduksi mereka belum siap, sehingga meningkatkan risiko kematian saat melahirkan. Selain itu, pengetahuan tentang perawatan anak dan gizi yang memadai juga masih minim, yang meningkatkan risiko anak mengalami stunting.
Terakhir, dampak ekonomi juga harus menjadi pertimbangan serius, karena pasangan muda yang menikah dini akan kesulitan mencari pekerjaan yang layak dan hal ini bisa berdampak pada kesulitan ekonomi keluarga.
Semua risiko tersebut juga dapat memicu tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang berdampak pada kesehatan dan perkembangan anak, terutama terkait masalah stunting. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mencegah pernikahan dini dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. (*)
Editor : Salman
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp