Meulaboh, Acehglobal – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Mawardi Basyah, membantah tuduhan penganiayaan terhadap seorang murid SD di Meulaboh, Aceh Barat. Ia menyebut kejadian pada 23 September 2024 hanya kesalahpahaman.

‎Mawardi didakwa berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana maksimal 3,5 tahun penjara.

‎Dalam klarifikasinya kepada awak media, Rabu (30/4/2025), Mawardi menjelaskan bahwa ia sedang menjemput anaknya di sebuah sekolah dasar di Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh, saat melihat anaknya dan teman sekelas, termasuk korban, bermain tolak-tolakan usai jam pelajaran.

‎“Saya melerai mereka agar tidak terjadi apa-apa. Tangan saya tidak menyentuh pipi salah satu anak, seperti pemberitaan yang beredar,” ujarnya.

‎Dalam narasi pemberitaan sejumlah media di Aceh, Tim Kuasa Hukum Mawardi Basyah keberatan atas pemberitaan terhadap kliennya, diduga tidak berimbang, pasalnya setiap isi narasi pemberitaan hanya menjelaskan di satu pihak.

‎Dalam berita tersebut juga menyatakan bahwa Mawardi menampar pipi kanan korban, menyebabkan luka memar berukuran 4×3 cm, sesuai visum et repertum dari RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh Nomor 353/41/IX/2024 tanggal 24 September 2024 yang ditandatangani Dr Hernanda Yanuari.

‎Namun, Mawardi mempertanyakan hasil visum tersebut, mengklaim bahwa telapak tangannya jauh lebih besar dari luka memar. “Jika saya menampar, dampaknya pasti lebih besar pada anak usia 8 tahun,” tegasnya.

‎Berdasarkan data antropometri, telapak tangan orang dewasa rata-rata berukuran 7-10 cm lebar dan 8-12 cm panjang, jauh lebih besar dari memar 4×3 cm.

Menurut studi forensik dari ahli forensik Universitas Indonesia menyatakan, bahwa memar seukuran ini lebih konsisten dengan kontak parsial, seperti sentuhan ujung jari atau tepi telapak, daripada tamparan keras yang biasanya meninggalkan pola sidik tangan.

‎Literatur medis menyebutkan bahwa tamparan keras pada pipi anak usia 8 tahun dapat menyebabkan memar atau kemerahan, tetapi pingsan—seperti diklaim Mawardi—memerlukan kekuatan ekstrem yang tidak didukung oleh visum.

‎Pihak sekolah membenarkan adanya upaya mediasi antara Mawardi dan ayah korban, namun ayah korban menolak dan memilih melapor ke polisi.

‎Hingga berita ini diturunkan, ayah korban belum menanggapi klarifikasi ini.

‎Kuasa hukum Mawardi meminta semua pihak mengedepankan asas praduga tak bersalah, mengingat sidang masih berlangsung di Pengadilan Negeri Meulaboh, dengan agenda pemeriksaan saksi dijadwalkan pada 5 Mei 2025.

‎Badan Kehormatan DPRA menyatakan belum menerima laporan resmi terkait status hukum Mawardi dan masih menunggu perkembangan sidang.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan ikuti saluran kami di Channel WhatsApp