Aceh Utara – Puisi merupakan salah satu genre sastra yang lebih rumit. Kerumitan puisi disebabkan oleh konvensi sastra yang melekat padanya dengan berbagai ketentuan.
Dalam keterangan tertulis yang diterima media ini, Kamis (05/10/2023), Hamdani Mulya sang penulis Buku Sajak “Secangkir Air Mata”, mengaku bahwa karyanya itu pernah dipuji dan diapresiasi oleh Prof Agung Pranoto.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh media ini, bahwa sosok Prof. Agung Pranoto, lahir di Trenggalek, 5 November 1966 merupakan Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Sejak 1985 ia meminati tulis-menulis, berupa puisi, cerpen, resensi, artikel bahasa-sastra-budaya dan di antaranya telah dimuat di Surabaya Post, Surya, Suara Merdeka, Wawasan, Republika, Suara Karya, Pelita, Mutiara, Panyebar Semangat, Jaya Baya, dan lain-lain.
Selain itu, Prof. Agung Pranoto adalah seorang dosen, penulis buku, dan sastrawan. Ia juga sebagai pemimpin Penerbit PT. Bukit Baris Kertoraharjo, Penerbit buku-buku bahasa dan sastra di Surabaya.
Dikutip dari Pengantar Penerbit dalam buku Sajak Secangkir Air Mata karya Hamdani Mulya, Pof. Agung Pranoto, mengapresiasi dan mengaku bahwa dalam mencermati puisi-puisi Hamdani Mulya ini sungguh menarik.
Katanya, sebab puisi-puisinya menarik jika dijadikan kajian dari beragam perspektif, mulai dari structuralism theory hingga poststructuralism theory seperti historicism theory yang dihubungkan dengan kesejarahan Aceh.
“Meskipun puisinya ditambang dari peristiwa Aceh dan “orang-orang besar‟ Aceh, bukan berarti puisi-puisi Hamdani Mulya harus ditempatkan sebagai puisi kedaerahan (lokalitas), namun semua puisinya juga meng-Indonesia (globalitas),” ucapnya.
Dengan dasar pijakan di atas, lebih lanjut, Prof Agung yang juga selaku penerbit mengatakan, kami memandang bahwa puisi-puisi Hamdani Mulya sangat layak kami terbitkan dan kami rekomendasikan untuk dinikmati, dijadikan bahan ajar, dikaji/ditelaah oleh masyarakat sastra Indonesia pada umumnya.
Selain itu, pujian itu juga hadir dari resepsi para pembaca terhadap Buku “Sajak Secangkir Air Mata” diantaranya Dr. Kaswadi, M.Hum yang merupakan Akademisi Sastra Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan pengamat sastra.
“Membaca puisi-puisi Hamdani Mulya, saya diajak berkelana pada berbagai fenomena yang terjadi di Aceh, serta mengenang kembali tokoh-tokoh besar yang berasal dari tanah rencong ini,” kata Dr. Kaswadi.
Menurutnya, Puisi penyair ini mencerminkan karakteristik tersendiri dalam bidang penciptaan puisi. Rupanya, ia memiliki bakat alam dan intelektualisme dalam penciptaan puisi.
Hal senada juga dikomentari oleh Eko Windarto selaku Penyair asal Batu, Malang, ia menyebutkan suara batin penyair Hamdani Mulya, rupanya tergelitik pada kepedihan yang terjadi saat tsunami Aceh.
“Ini bukan sesuatu yang berlebihan. Sebab, tugas penyair adalah memotret dan mengabadikan suatu peristiwa yang merupakan catatan sejarah. Dan sangat tepat sebab hal ini tidak luput dari perhatian Hamdani Mulya,” tuturnya.
Sementara Edi Kuswantono Pencinta dan penulis sastra ikut memberikan penilaian positif, menurutnya puisi-puisi dari Hamdani Mulya menggunakan bahasa keseharian yang mampu menggugah rasa, jiwa untuk merenungkan kembali berbagai peristiwa kehidupan. Di balik kesederhanaan diksi, justru menyembulkan ruang asosiasi pembaca yang makin terbuka lebar.
Adapun menurut Jaka El-masriv selaku Pencinta sastra, puisi-puisi Hamdani Mulya merupakan hasil kontemplasi atas pengalaman puitiknya.
“Rupanya ia juga mampu mencipta puisi prismatik yang pekat atau sublim. Bravo Hamdani Mulya,” pujinya.
Sedangkan M. Shoim Anwar Novelis dan dosen sastra mengatakan, bahwa Hamdani Mulya tidak sekadar pandai mengajar di kelas, melainkan ia mampu memberikan contoh kepada siswa-siswanya tentang cara menulis puisi. Antologi puisi ini merupakan salah satu bukti nyata bahwa ia sosok guru sekaligus penyair.
Untuk diketahui, sosok Hamdani Mulya lahir di Desa Paya Bili, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara 10 Mei 1979. Alumni Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Universitas Syiah Kuala.
Karya Hamdani Mulya dipublikasikan di harian Serambi Indonesia, Kutaradja, Waspada, Haba Rakyat, Majalah Fakta, Santunan Jadid, Seumangat BRR, Meutuah Diklat, dan Jurnal Al-Huda.
Puisinya juga terkumpul bersama penyair Indonesia dalam buku antologi puisi Dalam Beku Waktu (2003), Paru Dunia (2016), Yogja dalam Nafasku (2016), Aceh 5:03 6,4 SR (FAM 2017), dan Gempa Pidie Jaya (2017).
Editor: Redaksi