Penulis: Cut Jauhari Johan
Mahasiswi Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

SAAT ini obesitas telah menjadi isu terkini dan masalah kesehatan di seluruh dunia, bahkan WHO menyatakan bahwa obesitas telah menjadi epidemi global. Di Indonesia khususnya di kota-kota besar, perubahan gaya hidup yang mengarah pada westernisasi mengakibatkan perubahan pola makan dan konsumsi masyarakat yang mengacu pada diet tinggi kalori, tinggi lemak dan kolesterol, terutama terhadap menjamurnya fast food/makanan cepat saji yang berdampak pada meningkatkan konsumsi.

Resiko Obesitas

Obesitas pada masa kanak-kanak memiliki risiko yang tinggi untuk menjadi obesitas pada masa dewasa dan berpotensi mengalami berbagai penyakit di kemudian hari.

Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan ( Riskesdas) 2018 menunjukkan, 1 dari 5 anak usia sekolah 5-12 tahun (20 persen atau 7,6 juta), 1 dari 7 remaja (14,8 persen, atau 3,3 juta), dan 1 dari 3 orang dewasa (35,5 persen, atau 64,4 juta) di Indonesia hidup dengan kelebihan berat badan atau obesitas. Menurut ahli gizi Unicef ​​di Indonesia David Colozza, kondisi ini sudah masuk kategori berbahaya.

Dinas Kesehatan ( Dinkes) Aceh Mencatat penderita obesitas di daerah capai 106.044 jiwa. Jumlah tersebut termasuk tinggi jika dibandingkan secara nasional.

Menurut Kemenkes Obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidakseimbangan asupan energi (energy intake) dengan energi yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu lama.

Gejala klinis yang dijumpai mulai dari bagian atas tubuh yaitu pada kepala wajah bulat, pipi tembem, dagu rangkap. Pada leher tampak pendek dan terdapat bercak kehitaman di belakang leher, perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat.

Obesitas merupakan masalah multifaktorial. Peningkatan asupan energi, perubahan pola makan dari tradisional ke modern, urbanisasi dan penurunan aktivitas fisik semuanya berkontribusi terhadap peningkatan obesitas. Faktor-faktor tersebut didukung oleh kontribusi faktor-faktor lain seperti aspek sosial ekonomi, budaya, perilaku dan lingkungan, dan gizi yaitu perilaku makan,pemberian makanan padat yang terlalu dini pada bayi serta makanan siap saji dan maraknya produk minuman berpemanis.

Obesitas juga dipicu oleh kurangnya aktivitas fisik terkait fenomena khas di perkotaan, yakni berkurangnya ruang publik yang bisa dijadikan arena bermain dan berolahraga. Kemudahan akses terhadap fasilitas modern berteknologi tinggi juga menjadi faktor penyebab kurangnya aktivitas fisik pada remaja terutama di perkotaan.

Disamping itu, Kegemukan dan obesitas dapat berdampak langsung pada kesehatan dan perkembangan psikososial seseorang. Selain itu, juga dapat menyebabkan peningkatan resiko penyakit tidak menular di kemudian hari, seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, stroke, dan beberapa jenis kanker.

Menurut Dirjen P2P dr. Maxi dalam konferensi pers di Hari Obesitas Sedunia 2023, Obesitas merupakan masalah global, sekitar 2 miliar penduduk dunia dan mengancam kesehatan masyarakat termasuk di Indonesia. Pada tahun 2030 itu diperkirakan 1 dari 5 wanita dan 1 dari 7 pria akan hidup dengan obesitas.

Beberapa studi terkait obesitas penelitian di Negara maju menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara aktivitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik rendah memiliki risiko kenaikan berat badan sebesar 5 kg.

Penelitian di Jepang menunjukkan rendahnya risiko obesitas pada kelompok yang memiliki kebiasaan berolahraga, sedangkan penelitian di Amerika menunjukkan penurunan berat badan dengan jogging, aerobik. Penelitian pada anak-anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang menonton TV 5 jam per hari memiliki risiko obesitas 5,3 kali lebih besar daripada mereka yang menonton TV 2 jam per hari.

Sebuah studi pada Praremaja di Amerika Serikat menemukan bahwa ada hubungan antara lama mengakses layar gadget dengan kenaikan berat badan (obesitas). Studi tersebut menggunakan data yang diambil dari 11.066 anak praremaja yang tergabung dalam Adolescent Brain Cognitive Development Study.

Mereka ditanyai pertanyaan terkait dengan waktu yang dihabiskan untuk enam jenis waktu layar yang berbeda termasuk televisi, media sosial, SMS, YouTube, obrolan video, dan video game. “Penelitian ini dilakukan sebelum pandemi dengan persentase obesitas 33,7% dan justru terjadi peningkatan persentase menjadi 35,5% setelah pandemi karena penerapan pembelajaran jarak jauh, pembatalan kegiatan olahraga hingga isolasi membuat anak terpapar peningkatan waktu layar yang belum pernah terjadi sebelumnya, ”kata Jason Nagata, penulis utama studi dan asisten profesor pediatri di University of California, San Francisco.

Contoh lainnya, salah satu minuman viral yang sering digemari anak-anak saat ini di Indonesia sendiri adalah boba , Boba sering dijadikan topping tambahan dalam berbagai jenis minuman, terutama teh seduh yang dicampur susu. Minuman manis ini menjadi sumber kenikmatan bagi sebagian besar anak muda. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang membelinya hampir setiap hari.Terlalu sering mengonsumsi minuman boba dapat meningkatkan risiko diabetes dan obesitas. Hal ini disebabkan tingginya kadar gula dan kalori yang terkandung dalam cemilan yang satu ini.

Sebagian masyarakat menganggap obesitas bukan penyakit, malahan banyak yang berpikir anak-anak yang gemuk terlihat lucu dan menggemaskan. Padahal obesitas merupakan penyakit dan dapat memicu komplikasi. Pemerintah Sendiri telah mengatur kandungan gula, garam, dan lemak pada produk makanan olahan maupun makanan siap saji dimana disetiap produk pangan kemasan sudah terdapat label informasi nilai gizi.

Hal ini salah satu cara bagaimana pemerintah mengatasi obesitas dan menghindari komplikasi penyakit tidak menular lainnya. Meningkatkan program gerakan masyarakat hidup sehat Serta mengatasi permasalahan obesitas ini juga harus melibatkan lintas sektor. “Selain itu, pastikan anak cukup tidur. Untuk anak usia 4 – 12 bulan setidaknya tidur 12 – 16 jam, untuk anak usia 1 – 2 tahun tidur 11 – 14 jam, untuk anak usia 3 – 5 tahun tidur 10 – 13 jam, untuk anak 6 – 12 tahun tidur 9 – 12 jam, dan anak remaja usia 13 – 18 tahun itu tidur 8 – 10 jam.

Kapan Harus Berobat Ke Dokter
Jika Anda merasa khawatir anak Anda kelebihan berat badan, lakukan konsultasi dengan dokternya. Dokter akan mempertimbangkan riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak Anda, riwayat berat badan terhadap tinggi badan keluarga Anda, dan posisi anak Anda pada grafik pertumbuhan. Ini dapat membantu menentukan apakah berat badan anak Anda berada dalam kisaran yang tidak sehat.

Tips Mencegah Obesitas Untuk Anak dan Remaja

Biasakan makan dengan keluarga, Batasi penggunaan gadget, Perbanyak aktivitas di luar ruangan, Tidak makan sambil nonton TV, Biasakan selalu sarapan sehat kurangi minuman berpemanis, Biasakan membawa bekal makanan sehat dan air putih dari rumah, serta perbanyak makan sayur dan buah.

Obesitas pada anak menjadi salah satu fenomena yang sangat mengkhawatirkan bagi masa depan anak Indonesia, oleh Karena itu Ayo bersama-sama kita memulai menjaga pola hidup sehat dan teratur agar kesehatan kita tetap tejaga.(*)