Iklan - Scroll ke bawah untuk baca artikel
Komunitas MenulisOpini

Digaji oleh Negara, Tapi Masih Juga Berdagang dengan Rakyat

716
×

Digaji oleh Negara, Tapi Masih Juga Berdagang dengan Rakyat

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi - Digaji oleh Negara, Tapi Masih Juga Berdagang dengan Rakyat. Foto: Int.

DIGAJI oleh negara tapi masih juga berdagang dengan rakyatnya, diberi fasilitas oleh rakyat tapi masih juga menghitung laba atas kekuasaannya. Al-‘athif merupakan istilah yang digunakan Alquran untuk menyebutkan prilaku tamak pada diri seseorang. Sulit menemukan kata yang sepadan untuk mengungkapkan al-‘athif dalam kosa kata bahasa Aceh. Prilaku ini dialamatkan untuk orang yang suka menghitung-hitung lebih laba untuk dirinya, dan menghitung kurang laba untuk orang lain. Prilaku al-‘athif konotasinya buruk dilakukan di wilayah mana pun.

Ayat yang mengungkapkan prilaku al-‘athif terdapat dalam surat al-Muthaffifin;

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melanjutkan

وَيۡلٌ لِّلۡمُطَفِّفِيۡن, الَّذِيۡنَ اِذَا اكۡتَالُوۡا عَلَى النَّاسِ يَسۡتَوۡفُوۡن,‏ وَاِذَا كَالُوۡهُمۡ اَوْ وَّزَنُوۡهُمۡ يُخۡسِرُوۡنَؕ‏, اَلَا يَظُنُّ اُولٰٓٮِٕكَ اَنَّهُمۡ مَّبۡعُوۡثُوۡنَۙ‏ …….

Artinya, “kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi, tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan”. Q. S. Al-Muthaffifin/083: 1-4).

Alquran mengecam prilaku al-‘athif dengan pernyataan “celakalah” orang-orang yang menghitung-hitung, ketika ia menghitung laba untuk dirinya dilebih-lebihkan dan ketika menghitung laba untuk orang lain dikurang-kurangi. Ini tidak hanya terjadi dalam transaksi sehari-hari di level bawah, prilaku ini juga berlaku di berbagai level kekuasaan. Serta juga berlaku dalam dunia kepangkatan dan jabatan. Orang lain diciptakan pada posisi rendah sementara jabatan dan pangkat untuk dirinya diciptakan peluang sedemikian rupa.

Baca Juga :   Apakah Kata "Perdamaian" Bisa Menghidupkan Kembali Jiwa Yang Mati?

Kerugian yang muncul dari pelaku al-‘athif yang berlangsung di lingkup kecil, kerugian yang ditimbulkan juga kecil dan tidak begitu berefek dalam kehidupan secara keseluruhan dalam kehidupan berbangsa. Berbeda dengan prilaku al-‘athif di lingkup kekuasaan dapat merugikan sebuah daerah. Namun, walaupun demikian prilaku al-‘athif tetap saja buruk untuk manusia, bukan hanya di dunia bahkan untuk akhirat sebab ia telah melakukan kecurangan dalam transaksi dunia. Dari kecurangan ini dapat memperburuk hubungan antar sesama.

Aceh dalam beberapa dekade ini tidak terlepas dari jeratan pemimpin yang bermental al-‘athif. Kemiskinan yang melanda negeri paling ujung pulau Sumatera ini menempati peringkat utama. Para pemimpin dan penguasa terindikasi sebaga pelaku al-‘athif yang selalu menghitung laba lebih untuk dirinya, terkadang mereka tidak segan-segan menjual kekuasaan untuk kepentingan yang murah untuk mencapai kekayaan dunia.

Prilaku al-‘athif dapat dilihat dari cara para pemimpin di daerah menetapkan fee proyek dalam setiap satuan pekerjaan. Penetapan fee proyek dalam jumlah tertentu begitu santer kita dengar dengan jumlah yang bervariasi, ada yang menetapkan dengan jumlah sepuluh persen bahkan mencapai dua puluh persen. Penetapan fee proyek oleh penguasa merupakan bentuk tindakan al-‘athif dalam rangka menghitung lebih laba untuk dirinya. Pemotongan fee diawal pekerjaan saat pelelangan proyek merupakan bentuk kecurangan tidak hanya dilarang secara undang-undang juga berlawanan dengan prinsip moral yang diajarkan Islam.

Baca Juga :   Menjadi Seorang Petugas Sensus Itu Sebuah Profesi atau Bukan?

Beredar isu pejabat ditangkap atas kasus dugaan korupsi di Aceh di salah satu kabupaten kota di Aceh sebagai tanda prilaku al-‘athif telah terjadi pada kekuasaan tertinggi di tingkat kabupaten, dan ini juga berkemungkinan berlaku di tingkat propinsi dan nasional. Pelaku al-‘athif berkemungkinan juga berlaku di kabupaten-kabupaten yang lain di Aceh.

Setelah penguasa di salah satu daerah di Aceh ditangkap karena korupsi sepertinya momen yang tepat bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengungkapkan keberadaan al-‘athif. Dalam bahasa kekuasaan cara seperti ini juga disebut prilaku korup. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah tindakan yang membawa pelaku di labeli al-‘athif. Aceh telah ditetapkan sebagai propinsi termiskin di Sumatera, keberadaan pemimpin dan pejabatnya dalam keadaan kaya raya sementara rakyatnya miskin. Keberadaan mereka seperti kebal hukum oleh karena kekuasaan, atau keberadaan mereka disinyalir sebagai orang kuat.

Haruskah Aceh ke depan dibiarkan dipimpin oleh orang-orang yang bermental al-‘athif. Jika saja keberadaan al-‘athif tidak dimunculkan ke permukaan melalui pembuktian kecurangan dalam mengelola kekuangan negara diungkapkan ke publik dan pelakunya dihukum seberat-beratnya, maka kelompok al-‘athif terus diternak. Mereka telah memperkaya diri dan keluarganya dengan gaya hidup yang hedon sementara rakyatnya menuai kemiskinan dan kepapaan.

Baca Juga :   Perlukah Budaya Diskusi di Warung Kopi?

Hukum pelaku al-‘athif yang telah membuat ekonomi di Aceh tidak berimbang. Dan mesti dicegah calon-calon al-‘athif baru dengan cara mengawasi kinerja mereka dalam mengelola keuangan negara baik untuk Kepala Daerah yang sedang menjabat, dewan, dan dinas. Jika sekarang Aceh telah miskin oleh karena pelaku al-‘athif maka ke depan jika keberadaan mereka dibiarkan begitu saja, maka Aceh ke depan tidak kecil akan hancur lebur, dan julukan negeri bersyariat akan menjadi cemoohan orang-orang di luar Aceh.

Bangkitkan keberadaan pelaku curang ini (al-‘athif) di dunia, jangan menunggu Tuhan membangkitkannya di akhirat. Membangkitkan keberadaan mereka di dunia dengan cara periksa semua mantan Kepala Daerah, dewan baik DPRA, DPRK, Kepala Dinas dan instansi apa pun yang diberi kewenangan untuk mengelola keuangan negara.(*)

Jakarta, 24 Mei 2023

Penulis: Dr. Mukhtar, S.Fil.I., MA
Jebolan Doktor Ilmu Filsafat Politik Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tulisan ini adalah opini penulis.***