GLOBAL JAKARTA – Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan korupsi dibawah Rp50 juta tidak memerlukan proses hukum.
Dia menyebut kasus korupsi dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta dapat diselesaikan dengan pengembalian uang ke negara saja.
Hal itu disampaikan Burhanuddin saat menjawab pertanyaan anggota DPR dalam rapat bersama Komisi III DPR RI, Kamis (27/1/2022).
“Sedangkan untuk perkara tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, Kejaksaan Agung telah memberikan imbauan kepada jajaran untuk tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta untuk bisa diselesaikan cara pengembalian kerugian keuangan,” kata Burhanuddin.
Menurutnya, mekanisme penyelesaian hukum terhadap kasus korupsi dengan kerugian di bawah Rp 50 juta dinilai cepat dan sederhana.
“Sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana, dan biaya ringan,” ujarnya.
Selain itu, dijelaskan Burhanuddin, kasus pidana terkait korupsi dana desa yang kerugian keuangan negara tidak terlalu besar dapat dilakukan secara administratif dan tidak dilakukan secara terus menerus.
Artinya, salah satu cara dengan mengembalikan kerugian keuangan negara tersebut, dan berjanji tidak mengulangi lagi perbuatannya itu.
“Terhadap perkara Dana Desa yang kerugiannya tidak terlalu besar dan perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terus-menerus, maka diimbau untuk diselesaikan secara administratif dengan cara pengembalian kerugian tersebut terhadap pelaku dilakukan pembinaan oleh inspektorat agar tidak mengulangi lagi perbuatannya,” jelas Burhanuddin.
Namun meski demikian, ia tidak menjelaskan lebih rinci terkait kebijakan bagi koruptor yang menyebabkan kerugian negara di bawah Rp 50 juta itu.
Sementara itu, pihak Kapuspenkum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak telah dihubungi terkait pernyataan Burhanuddin. Namun Leonard belum memberi respons hingga berita ini ditayangkan.
Sebelumnya, wacana agar koruptor dengan kerugian keuangan negara kecil tidak ditindaklanjuti atau berlaku asas restorative justice sempat menjadi polemik.
Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Jaksa Agung nomor B-113/F/Fd.1/05/2010. Surat tertanggal 18 Mei 2010 itu terbit ketika posisi jaksa agung diduduki Basrief Arief.
Surat yang ditujukan kepada seluruh kejaksaan tinggi di Indonesia itu berisi imbauan agar dalam kasus dugaan korupsi, masyarakat yang dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti atau berlaku asas restorative justice.
Saat itu pernyataan Basrief tentang surat edaran tersebut yaitu kalau uang yang dikorupsi sekitar Rp 10 juta, lebih baik dikembalikan kepada negara dan perkaranya dihentikan.
Apabila kasus ditindaklanjuti, mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga proses persidangan akan menghabiskan uang negara lebih dari Rp 50 juta.
Menanggapi hal tersebut, Jaksa Agung HM Prasetyo–pada masa ia menjabat–sempat menjawab terkait surat edaran itu. Apakah surat itu masih berlaku?
“Itu sangat tidak bisa digeneralisir. Setiap kasus beda-beda, ada mens rea-nya. Itu pun masih restorative justice, belum menjadi undang-undang,” kata Jaksa Agung Prasetyo ketika berbincang, Jum’at (26/2/2016).
Selain itu, Prasetyo menyebut surat edaran itu masih bersifat kasuistis saja, belum mengikat. Tentang surat edaran itu sendiri sempat menjadi polemik lantaran dianggap tidak mengandung semangat pemberantasan korupsi. (*)
Ikuti berita terbaru Aceh Global News melalui Google News : Klik Disini !