Jakarta, Acehglobal – Sidang gugatan terhadap Ketua DPR RI, Puan Maharani, terkait kewenangan khusus Aceh memasuki tahap mendengar keterangan saksi.
Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta, Jumat (9/8/2024), Kuasa Hukum Ugek Farlian, Safaruddin SH. MH, menyebutkan bahwa tokoh-tokoh penting Aceh yang hadir sebagai saksi antara lain Senator Aceh Fachrul Razi, anggota DPRA Azhar Abdurrahman, dan Ketua DPRK Simeulue Irwan Suhaimi.
“Ketiganya menjelaskan secara rinci tentang kerugian yang timbul akibat tidak dilaksanakannya perintah UUPA oleh DPR RI, yaitu tidak melakukan konsultasi dan pertimbangan dengan DPRA saat membahas UU yang berkaitan dengan kewenangan khusus Aceh,” ujar Safaruddin di PN Jakarta.
Anggota DPD RI, Fachrul Razi menyampaikan bahwa dirinya dan beberapa anggota DPD asal Aceh sudah pernah mengingatkan Pimpinan DPR RI saat sedang melakukan pembahasan revisi UU MD3 agar mengakomodir kekhususan Aceh yang telah ditegaskan dalam pasal 8 UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Hal ini, disampaikan senator Fachrul Razi karena adanya komplain dari DPRA dan Pemerintah Aceh kepada DPD saat dirinya sedang mendengarkan aspirasi masyarakat di Aceh. Namun, sampai hari ini DPR RI tidak mengindahkan surat dari para senator Aceh tersebut.
“Kami sering mendapat komplain dari kawan kawan DPRA dan Pemerintah Aceh terkait dengan beberapa UU yang dibahas dan disahkan oleh DPR RI yang terkait dengan kewenangan khusus Aceh, dan hal tersebut kami tindaklanjuti dengan menyurati Ketua DPR RI agar memperhatikan kewenangan Aceh seperti yang sudah diatur dalam pasal 8 UUPA, namun surat kami sampai hari ini tidak mendapatkan respon dari Ketua DPR,” jelas Fachrur Razi yang saat ini menjabat sebagai Ketua Komite I DPD RI.
Sementara, Azhar Abdurrahman mewakili pimpinan di DPRA menjelaskan, banyak UU yang dibahas dan disahkan oleh DPR RI yang mendegradasi dan bertentangan dengan norma dalam UUPA, seperti pemberian masa jabatan kepala desa 8 tahun dengan boleh dipilih dua periode lagi.
Menurutnya, hal itu bertentangan dengan pasal 159 UUPA yang mengatur masa jabatan kepala desa hanya selama 6 tahun dan hanya dapat dipilih satu periode saja.
DPRA, kata Azhar, juga telah menyurati Ketua DPR RI agar memperhatikan kewenangan Aceh dalam pasal 8 UUPA. Selanjutnya, mengatur bahwa jika DPR RI membahas UU yang berkaitan dengan kewenangan khusus Aceh, Maka, perlu terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapat pertimbangan dari DPRA, namun juga tidak mendapatkan jawaban dari DPR Rl.
“DPRA sudah pernah menyampaikan kepada Ketua DPR pada tahun 2020, agar DPR dalam membahas UU yang berkaitan dengan kewenangan khusus Aceh untuk melakukan konsultasi dan mendapatkan pertimbangan dari DPRA sebagaimana telah di atur dalam pasal 8 UUPA, dan selama ini tidak pernah dilakukan,” katanya.
“Sehingga, terjadi benturan norma UU dengan UUPA, selama ini sudah ada beberapa pasal yang bertentangan, namun Ketua DPR sampai saat ini belum juga merespon surat dari DPRA,” tambah Azhar yang pernah menjadi Ketua Badan Legislasi DPRA.
Azhar juga membeberkan bahwa DPRA yang diwakili oleh Kausar dan Samsul Bahri pernah mengajukan judicial review UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu Ke Mahkamah Konstitusi karena norma hukumnya bertentangan dengan UUPA, dan MK.
Kemudian, mengabulkan permohon JR tersebut dengan salah satu pertimbangan dalam perkara yang diregistrasi dengan nomor 61/PUU- XV/2017 bahwa DPR RI tidak melakukan perintah pasal 8 UUPA, tidak melakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA saat membahas UU tersebut, dan MK mencabut pasal 557 dan 571 dalam UU tersebut karena bertentangan dengan pasal 57 dan 60 UUPA.
Lebih lanjut sebut Azhar, DPRA juga pernah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, gugatan itu dilayangkan karena dua pasal UU tersebut, yaitu pasal 557 dan 571, yang telah disahkan DPR RI beberapa waktu lalu telah mencabut dua Pasal di dalam UUPA, yaitu pasal 57 tentang Komisi Independen Pemilihan dan pasal 60 tentang Panitia Pengawas Pemilihan di UUPA. Dalam sidang putusan yang digelar MK pada Kamis Siang, Mahkamah mengatakan dua pasal di UU Pemilu, yaitu 557 dan 571, tidak berlaku atau tidak memiliki kekuatan hukum.
“Artinya, pasal 57 dan 60 dalam UUPA yang dicabut 557 dan 571 tetap berlaku, dan salah satu pertimbangan hukumnya dalam putusan tersebut adalah karena DPR RI tidak melakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA sebagai mana telah diatur dalam pasal 8 UUPA,” papar mantan Bupati Aceh Jaya dua periode itu.
Selanjutnya, Ketua DPRK Simeulue, Irwan Suhaimi, menjelaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Simeulue sangat dirugikan dengan penarikan kewenangan pengelolaan pelabuhan dari Kabupaten ke Provinsi.
Hal tersebut, kata dia, telah menghilangkan Pendapatan asli Daerah (PAD) Kabupaten Simeulue, karena penarikan kewenangan pengelolaan pelabuhan didasarkan pada UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sementara kewenangan pengelolaan pelabuhan oleh Kabupaten telah diatur dalam pasal 175 UUPA.
“Kami sangat dirugikan dengan penarikan kewenangan pengelolaan pelabuhan dari Kabupaten ke Provinsi, ini menghilangkan PAD Simeulue,” sebut Irwan.
Tak hanya itu, lanjut Irwan, sektor pendidikan pun juga demikian. Pemerintah daerah Simeulue kesulitan untuk menganggarkan dana pembangunan Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan (SMK) lantaran dibatasi oleh UU 22/2014 dan UU 23/2014.
“Sekolah tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat Simeulue, sedangkan Provinsi juga punya keterbatasan dalam melakukan pemerataan pembangunan sekolah menengah dan kejujuran di seluruh Aceh,” terangnya. (*)