Iklan - Scroll ke bawah untuk baca artikel
Opini

17 Tahun Damai Aceh Delusi yang Memabukkan

223
×

17 Tahun Damai Aceh Delusi yang Memabukkan

Sebarkan artikel ini
Rahmat Fahlevi. FOTO: IST

Oleh: Rahmat Fahlevi

Dengan stimulus DOKA 17 tahun lamanya, Aceh bahkan belum mampu benar-benar membenah berbagai problematika yang terjadi pasca perang.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melanjutkan

Yang tetap mempertahankan status quo sebagai provinsi termiskin dikarenakan perputaran berkah Otsus hanya bertengger pada pusaran elite.

Pembangunan bersifat top down ala kapitalisme hanya menunjukkan tendendius kepada kaum kelas menengah akan tetapi tidak ada keberpihak kepada rakyat kecil.

Ini yang disebut dengan desain ekonomi untuk kaum pemilik modal dan para tuna modal hanya menjadi penonton.

Dibelahan dunia manapun, termasuk Aceh hal itu terjadi dalam mode produksi.

Di beberapa opini sebelumnya saya menganjurkan agar desain kesejahteraan Aceh mengikuti pola ala negara-negara Skandinavia yang benar-benar menunjukkan keberpihakan terhadap rakyat dan menjalankan transparansi dalam operasional dengan baik.

Hal itu tidak terjadi di Aceh, karena pola kepemimpinan kita masih bersifat tradisional-patrimonial.

Beberapa anotasi saya terkait refleksi 17 tahun damai Aceh yang bersifat multidimensi.

Baca Juga :   Perlukah Budaya Diskusi di Warung Kopi?

Proliferasi partai lokal

Terjadi pengembangbiakan partai lokal di Aceh bak jamur dimusim hujan. Beberapa orang melihat ini sebagai trend yang baik adanya eskalasi dan partisipasi politik sekaligus menjadi indikator kesehatan demokrasi, jika kita merujuk ke beberapa teori demokrasi kontemporer ala Thomas Power & Eve Warburton.

Secara parsial, saya melihat ini sebagai ancaman bukan hal yang positif namun akan saya jelaskan secara detail pula.

Saya sangat berharap bahwa parlok di Aceh itu hanya 1 atau 2 saja di parlemen agar terjadinya konvergensi kepentingan daerah yang di suarakan. Apabila lahirnya partai baru ini berpotensi akan sangat sulit mengartikulasikan kepentingan Aceh.

Lahirnya parlok baru pun bukan tanpa sebab, ada beberapa kausa yang akan saya utarakan.

Terjadinya penjamuran partai politik lokal adalah sebab inkonsistensinya Partai Aceh (PA) dalam mengutarakan pendapat. Pola kepemimpinan PA dalam pandangan saya bersifat elitis, untouched yang bahkan menjaga jarak dengan rakyat.

Baca Juga :   Mendengar atau Berbicara?

Hal ini tentu menjadi bomb waktu bagi elektabilitas dan impact elektoral bagi Partai Aceh.

Tidak adanya blueprint yang tepat dalam memperjuangkan kepentingan berbagai elemen lapisan masyarakat Aceh mengakibatkan terbentuknya partai-partai lokal baru yang merumuskan ideologi dan kepentingan mereka.

Lahirnya partai-partai lokal lain juga menjadi bukti bahwa terjadi degradasi kepercayaan publik terhadap PA dalam mengakomodir kepentingan masyarakat.

Gros violation of human right yang terlupakan

Pelanggaran HAM berat yang terjadi sepanjang 1976 hingga 2005 belum terselesaikan. Pemerintah hanya memberi stimulus materil bagi korban perang, namun banyak masyarakat yang secara psikis belum terpulihkan akibat perang berkepanjangan.

Pernah pada suatu hari di Aceh, beberapa mobil besar mengangkut artileri TNI untuk perayaan hari besar yang akan di gelar di Banda Aceh yang kebetulan melewati jalan nasional.

Di jalan tersebut ada beberapa warga yang sedang berjalan melihat mobil pengangkut artileri tersebut seraya berkata “Apa akan terjadi perang lagi?”

Mendengar cerita ini saya sangat prihatin, ini menunjukkan secara psikologis mental masyarakat belum benar-benar terpulihkan.

Baca Juga :   IPC Pusat Layanan Kesehatan di Aceh, Sudah Berjalan atau Masih Sekedar Harapan?

Pelanggaran HAM berat adalah fakta yang terjadi di Jambo Kupok, tragedi simpang KKA, kamp konsentrasi Rumoh Geudong, Buket Tangkorak, tragedi Jembatan Arakundoe, serta beberapa titik lainnya yang bahkan hingga sekarang hanya menjadi peringatan setiap tahunnnya dan menjadi inventariris saja tanpa melalui tahap penyelesaian dan recovery psikologis korban perang.

Elite Aceh hanya sibuk dalam teater “weuk tumpok” APBA setiap tahunnya untuk mengembalikan modal yang hilang karena kampanye, melakukan release dimedia terkait bendera, otsus yang hanya untuk mengeksploitasi simpati publik saja.

Saya rindu seorang revolusioner ala Hasan ditiro, kritiknya terhadap RI bukan tanpa dasar.

Ia mengkritik RI secara sosiologis, kultural, historis dan upaya melawan ketidakadilan orde baru.

Aceh hanya akan maju apabila dipimpin oleh intelektual prototipe Hasan tiro.(*)

Penulis adalah Mahasiswa Universitas Syiah Kuala Jurusan Fisip Ilmu Politik Asal Pidie Jaya, Aceh.