Iklan - Scroll ke bawah untuk baca artikel
BeritaHukrimNasional

Dinilai Riba Nasiah, Aturan Bunga Bank Digugat ke MK

449
×

Dinilai Riba Nasiah, Aturan Bunga Bank Digugat ke MK

Sebarkan artikel ini
Dinilai riba, aturan soal bunga bank yang termuat dalam Kitab KUHPerdata digugat ke MK. (Foto: CNN Indonesia/Poppy Fadhilah).

JAKARTA – Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menjadi sorotan setelah aturan mengenai bunga bank yang tercantum di dalamnya diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan tersebut diajukan oleh dua warga, Utari Sulistiowati dan Edwin Dwiyana, yang sidangnya dimulai pada Selasa (4/7) minggu lalu.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melanjutkan

Kedua penggugat, yang diwakili oleh kuasa hukum bernama Irawan Santoso, menggugat ketentuan yang diatur dalam Pasal 1765, 1766, 1767, dan 1768 dalam Undang-Undang tersebut karena mereka merasa keberatan dengan isi beleid tersebut.

Mereka menyayangkan bahwa semua pasal tersebut menyetujui adanya perjanjian utang-piutang yang mengenakan bunga pada pinjaman tersebut.

Berikut ini adalah rincian isi pasal-pasal yang diperdebatkan dalam gugatan tersebut:

Pertama, Pasal 1765 KUHPerdata berbunyi,” bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau barang lain yang habis karena pemakaian“.

Baca Juga :   Keuchik di Blangpidie Ikuti Apel Pagi Perdana Bersama ASN

Kedua, Pasal 1766 berbunyi “Barang siapa yang sudah menerima suatu pinjaman dan telah membayar bunga yang tidak diperjanjikan dahulu, tidak dapat meminta kembali bunga itu dan juga tidak dapat mengurangkan dari pinjaman pokok, kecuali jika bunga yang telah dibayar itu melampaui jumlah bunga yang ditetapkan dalam undang-undang“.

Ketiga, Pasal 1767 berbunyi, “Ada bunga menurut undang-undang dan ada yang ditetapkan di dalam perjanjian. Bunga menurut undang-undang ditetapkan di dalam undang-undang, bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang“.

Keempat, Pasal 1768, “Jika orang yang meminjamkan telah memperjanjikan bunga dengan tidak menentukan berapa besarnya, maka si penerima pinjaman diwajibkan membayar bunga menurut undang-undang“.

Gugatan ini diajukan oleh para pemohon yang merasa bahwa hak konstitusional mereka untuk memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing dirugikan oleh pasal-pasal yang disebutkan di atas. Mereka menganggap adanya bunga dalam perjanjian utang-piutang adalah melanggar aturan.

Baca Juga :   Meugang Idul Adha 1444 H, Harga Daging di Abdya Rp 200 Ribu Per Kilo

Menurut penggugat, membebankan bunga dalam utang-piutang dianggap sebagai perbuatan yang haram karena mengandung riba.

Irawan mengutip Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga Interest yang menyatakan bahwa menetapkan bunga dalam urusan utang-piutang dianggap sebagai riba nasiah.

“Karena pembungaan uang atau memberikan bunga dalam utang piutang, hal ini bertentangan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga Interest, di mana mematok bunga dalam urusan utang piutang, maka itu dikatakan sebagai riba nasiah. Nah, itu dianggap haram,” ucap Irawan seperti dikutip dari situs MK.

Oleh karena itu, sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional yang dijamin, para penggugat merasa dirugikan. Terlebih lagi, konstitusi menegaskan bahwa negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka.

Baca Juga :   Ini Tanggapan Anggota DPRK Subulussalam Soal Isu Tak Sedap Pasca Kunker Keuchik ke Batam

“Oleh karena itu, pemohon menganggap bahwa hal ini adalah bertentangan dengan jaminan kemerdekaan untuk melaksanakan agama sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 29 UUD 1945,” imbuh Irawan.

Para penggugat meminta agar Mahkamah Konstitusi memenuhi seluruh permohonan mereka. Mereka juga meminta agar dinyatakan bahwa muatan Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Selanjutnya, mereka memohon agar keputusan ini diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia sesuai dengan prosedur yang berlaku.(*)

Sumber: CNN Indonesia